'Itu bukan sebuah pikiran. Tapi sebuah film di depan mata saya tentang hidup saya sendiri. Semua lengkap, sangat jelas.'
Ketika menjadi mualaf pada 1983 lalu, mantan biarawati Irene Handono,
menyimpan perasaan bahwa Allah tidak adil terhadap dirinya. Ia terus
bertanya dan berusaha mencari jawaban mengapa ia dilahirkan sebagai
non-Muslim. ''Kenapa saya tidak dilahirkan dari keluarga Muslim yang
taat. Apa alasan Allah menjadikan saya sebagai mantan kafir,'' kata
pemilik nama asli Han Hoo Lie ini.
Hingga 1991, pertanyaan itu
belum juga terjawab. Jawaban akan kegelisihan hatinya baru muncul ketika
menunaikan ibadah haji pada 1992. Wanita berdarah Cina ini berangkat
haji bersama 400 orang jamaah reguler lainnya yang tergabung dalam
kloter 18 dari Embarkasi Surabaya.
Di Tanah Haram, jawaban dari
Allah itu didapatkannya. ''Ternyata Allah sayang kepada saya. Allah
memilih saya menjadi salah satu hamba pilihan,'' ujar Irene saat ditemui
di kediamannya, di Bekasi, beberapa waktu lalu. Ketika berada di Tanah
Haram, Irene kerap mengalami peristiwa yang dinilainya luar biasa. Ia
berkisah, ketika berada di depan Ka'bah, dirinya mengambil tempat garis
lurus sejajar dengan letak Hajar Aswad. Ia sempat menggigit lidahnya
untuk membuktikan jika dirinya tidak sedang bermimpi.
Pendiri
Irene Center ini menuturkan, selama melakukan ibadah di Masjidil Haram,
ia kerap diperlihatkan gambaran seperti sebuah film tentang kronologi
hidupnya dari kecil hingga dewasa. Bungsu dari lima bersaudara ini tak
kuasa membendung tangis. Ia bersedih melihat gambaran tentang dirinya
ketika masih menjadi non-muslim. ''Itu bukan sebuah pikiran. Tapi sebuah
film di depan mata saya tentang hidup saya sendiri. Semua lengkap,
sangat jelas,'' ungkapnya.
Saat diperlihatkan Allah tentang
jalan hidupnya di masa lalu, putri pengusaha ini pun ber - sujud dan
melakukan muhasabah. Dari instro - peksinya, Irene mengikrarkan diri
ingin me - wadahi para mualaf agar terus eksis di jalan Allah.
Menurutnya, selama ini, tak sedikit mualaf yang dibiarkan dan tidak
dibimbing hing - ga keimanan dan keislamannya tetap dangkal. Bahkan ada
yang kembali menjadi murtad.
Di Tanah Suci, mantan mahasiswi
Institut Ilmu Filsafat Theologi ini juga mengalami peristiwa luar biasa.
Menurutnya, dari Muzdalifah menuju Mina, kelompoknya terpecah menjadi
dua. Ada yang naik bus, ada yang harus jalan kaki. Ia pun mengalah
memberi kesempatan pada jamaah tua untuk naik bus. Akhirnya ia berjalan
kaki bersama rombongan yang dipimpin seorang ustadz dari kloternya.
Namun tiba-tiba, jalan yang dilewatinya dipenuhi lautan manusia. Ia pun
terpisah dari kelompoknya. Di tengah kebingung - annya, ia mencoba
mencari jalan sendiri menuju pemondokannya di Mina sambil terus berdoa,
dan bertawakal.
Untuk menutupi rasa haus dan lapar, wanita
kelahiran Surabaya 30 Juni 1954 ini hanya meminum air zamzam yang
ternyata mampu membuatnya sangat kenyang. Di tengah upayanya dan terus
berdoa, tiba-tiba ia merasa ada yang menuntunnya menuju sebuah masjid.
Setelah menunaikan shalat di masjid tersebut, ia pun bertekad akan
melanjutkan pencariannya. Namun begitu keluar dari masjid, di pintu
gerbang ia melihat pemimpin rombongannya. Ia pun akhirnya menuju
pemondokan dan ternyata rombongan yang menggunakan bus belum tiba. ''Ini
sungguh di luar nalar, tapi itulah kenyataannya. Saat kelompok yang
menggunakan bus tiba, justru banyak yang sakit,'' ujarnya.
Air
matanya kembali berurai ketika esok harinya, ia menggunakan bus dan
melewati jalur yang ditempuh ketika ia tersesat. Ternyata selama ketika
tersesat, ia mengitari Kota Mina. ''Tapi ketika saya berjalan kaki cuma
setengah jam. Bayangkan mengitari sebuah kota hanya setengah jam, Masya
Allah,'' ujarnya. Wanita yang sudah tiga kali menunaikan ibadah haji ini
mengaku, ada banyak hal ghaib yang sulit dianalisisnya selama di Tanah
Suci. Hal itu membuatnya kembali merenung dan menyimpulkan bahwa Allah
Maha Kuasa atas segala (RioL)